Langsung ke konten utama

Unggulan

Tak Tersentuh

Ada ruang di dalam hatiku yang selalu waspada—tempat di mana harapan takut tumbuh terlalu tinggi. Aku pernah belajar, sayang, bahwa semakin besar harapanku, semakin dalam pula sakit yang kurasakan saat semuanya runtuh. Aku masih ingat rasanya dihancurkan oleh ekspektasi yang kugenggam erat. Dulu, aku begitu yakin pada janji yang ternyata hanya angin lalu. Sejak saat itu, aku belajar untuk tidak lagi berharap terlalu banyak—menahan diri agar tak terjatuh terlalu dalam. Tapi lalu kau datang, dengan senyum yang terasa begitu tulus dan tatapan yang seolah menjanjikan kebahagiaan. Jujur saja, aku ingin sekali percaya, ingin mengizinkan hatiku melangkah lebih jauh. Tapi ketakutan itu tetap ada, menyusup seperti bayangan gelap yang tidak mau pergi. Aku takut, sayang. Takut kalau semua ini hanya mimpi yang akan terbangun dengan luka baru. Takut jika aku kembali mempertaruhkan segalanya hanya untuk melihatmu pergi pada akhirnya. Kau mungkin tidak tahu seberapa besar perjuanganku untuk tetap...

Dewasa Katanya

Katanya, menjadi dewasa itu menyenangkan. Langit terbuka tanpa batas, tak ada larangan, tak ada suara yang mengatur langkah. Tapi mengapa kebebasan ini terasa seperti rantai tak kasat mata? Mengapa dunia yang dulu terlihat luas, kini menjelma menjadi lorong-lorong sempit penuh beban yang tak bisa ditinggalkan?

Dulu, kita ingin cepat besar. Kita pikir, dewasa berarti bebas memilih arah, bebas menentukan jalan. Tapi tak ada yang memberitahu bahwa setiap pilihan adalah sebuah pengorbanan, bahwa setiap keputusan adalah luka yang mungkin tak pernah sembuh. Tak ada yang berkata bahwa seiring bertambahnya usia, tawa akan semakin jarang, pelukan semakin asing, dan air mata harus pandai-pandai disembunyikan di balik senyum yang pura-pura.

Mereka bilang, saat dewasa kita akan menemukan kekuatan. Tapi mengapa yang kita temukan justru kelelahan yang tak ada habisnya? Malam bukan lagi tentang mimpi, melainkan tentang hitungan tagihan, janji yang belum terpenuhi, dan ketakutan akan esok yang terus mengintai. Tidak ada lagi tangan yang siap menggenggam saat kita terjatuh, tidak ada lagi kata-kata yang menenangkan saat segalanya terasa berat. Kita harus bangkit sendiri, menelan kepahitan sendiri, menutupi retak-retak di hati agar dunia tak melihat betapa rapuhnya kita sebenarnya.

Pembohong, mereka yang berkata bahwa dewasa itu bahagia. Nyatanya, kita hanyalah anak-anak yang tersesat dalam tubuh yang semakin menua. Kita berpura-pura mengerti, berpura-pura kuat, berpura-pura tahu arah, padahal dalam diam, kita hanya ingin kembali—ke masa di mana dunia masih hangat, di mana menangis bukan tanda kelemahan, di mana bahagia tak perlu dicari, karena ia ada di genggaman tanpa kita sadari.

Komentar

Postingan Populer