Langsung ke konten utama

Unggulan

Antara Kamu, Aku, dan Iman

Aku mengenalmu bukan dari rencana, sayang, tapi dari kebetulan yang terasa seperti takdir kecil. Perjumpaan kita tidak dramatis, tidak pula dirancang oleh semesta. Tapi entah kenapa, sejak itu, langkahmu menempati ruang yang tak pernah kuundang—di pikiranku, dan di hatiku. Kamu hadir seperti hujan pertama setelah musim panjang yang kering. Membasahi tanpa memaksa. Menyegarkan tanpa mengusik. Setiap perhatianmu, setiap kalimatmu yang sederhana, menjelma pelukan tak kasat mata yang kurindukan diam-diam. Aku menyukai caramu bertanya kabar, menyelipkan pujian tanpa beban, dan menenangkan segala gelisahku seakan kamu tahu cara memeluk luka yang bahkan tak kuucapkan. Sayang, kamu membuat segalanya terasa ringan, padahal dalam diamku—ada gundah yang tak henti tumbuh. Kita berjalan di atas tanah yang tak sama. Iman kita tidak bersisian. Keyakinan kita berdiri saling berhadapan, dan tak ada jembatan yang mampu menyatukan dua pijakan yang begitu berbeda. Perbedaan ini bukan luka, tapi juga bu...

Sedikit Keluhan.

Dalam bayang-bayang malam yang tenang, aku berdiri sendiri, meresapi sepi yang tak kunjung usai. Di sudut rumah, adikku tertawa riang, dikelilingi perhatian dan kasih sayang. Tangannya digenggam erat, langkahnya diarahkan penuh lembut. Sedang aku, hanya mampu menatap dari kejauhan, merindu sentuhan yang tak pernah hadir seutuhnya.

Sejak dulu, aku diajarkan untuk berdiri sendiri, mengarungi gelombang hidup tanpa keluhan. Setiap jatuh, aku dipaksa bangkit, setiap ragu, aku dituntut tegar. Tapi adikku, dia selalu diberi sayap perlindungan, dikelilingi cinta yang tak terbatas. Betapa sering aku berharap, sedikit saja perhatian itu tertuju padaku, meredam resah di dalam hati yang sunyi.

Setiap malam, ketika rembulan mengintip malu di balik awan, aku teringat masa kecil yang telah berlalu. Adikku yang tertidur dalam pelukan, terbuai mimpi indah tanpa beban. Sedangkan aku, terjaga dalam gelap, berpikir tentang tanggung jawab dan harapan. Rasa iri mengalir perlahan, menyusup dalam hati yang lelah, menambah beban yang sudah terlampau berat.

Aku tahu, mereka tak bermaksud melukaiku. Mereka hanya ingin yang terbaik bagi kami, dengan cara yang berbeda. Namun, terkadang aku merasa terlupakan, terpinggirkan oleh kasih yang terlalu berpihak. Adikku menjadi simbol kelembutan yang tak pernah kurasakan, menjadi bayang-bayang yang selalu membayangi setiap langkahku.

Di balik senyum yang kutampilkan, tersimpan rasa iri yang mendalam. Ingin rasanya berbagi cerita, mengungkap rasa yang tersembunyi. Tapi, aku hanya bisa diam, menelan semua keluh kesah dalam-dalam. Karena aku tahu, sebagai anak sulung, aku harus kuat, harus mengerti dan menerima. Meski terkadang, dalam keheningan malam, aku berharap ada yang mengerti, bahwa aku pun ingin dimanja, meski hanya sekali.

Komentar

Postingan Populer