Langsung ke konten utama

Unggulan

Tak Tersentuh

Ada ruang di dalam hatiku yang selalu waspada—tempat di mana harapan takut tumbuh terlalu tinggi. Aku pernah belajar, sayang, bahwa semakin besar harapanku, semakin dalam pula sakit yang kurasakan saat semuanya runtuh. Aku masih ingat rasanya dihancurkan oleh ekspektasi yang kugenggam erat. Dulu, aku begitu yakin pada janji yang ternyata hanya angin lalu. Sejak saat itu, aku belajar untuk tidak lagi berharap terlalu banyak—menahan diri agar tak terjatuh terlalu dalam. Tapi lalu kau datang, dengan senyum yang terasa begitu tulus dan tatapan yang seolah menjanjikan kebahagiaan. Jujur saja, aku ingin sekali percaya, ingin mengizinkan hatiku melangkah lebih jauh. Tapi ketakutan itu tetap ada, menyusup seperti bayangan gelap yang tidak mau pergi. Aku takut, sayang. Takut kalau semua ini hanya mimpi yang akan terbangun dengan luka baru. Takut jika aku kembali mempertaruhkan segalanya hanya untuk melihatmu pergi pada akhirnya. Kau mungkin tidak tahu seberapa besar perjuanganku untuk tetap...

Alunan Nada


Kita adalah musik—serangkaian nada yang seharusnya berpadu dalam satu harmoni, sebuah melodi yang seharusnya mengalun dengan indah. Aku dan kamu, dua instrumen yang dipertemukan oleh takdir, dimainkan oleh waktu, ditiupkan oleh angin yang membawa kita dalam satu lagu yang belum selesai.

Namun, mengapa masih ada bagian yang terus menoleh ke belakang? Mengapa ada nada yang tak henti-hentinya mengulang bait yang seharusnya sudah berlalu? Lagu lama yang seharusnya telah selesai masih menggema di sudut ruang, seakan takut dilupakan, seakan enggan memberi ruang bagi melodi baru yang ingin lahir.

Padahal musik bukan hanya tentang mengenang, tapi juga tentang bergerak maju—tentang mencipta, tentang menjelajah nada-nada baru yang belum pernah terdengar sebelumnya. Kita seharusnya menjadi simfoni yang terus berkembang, bukan sekadar repetisi dari masa lalu yang tak ingin dilepas.

Namun satu nada tetap bergeming di masa silam, menekan tombol ulang pada melodi yang sama, sementara yang lain menunggu, berharap bisa dimainkan dalam aransemen yang lebih utuh, lebih indah. Seperti gesekan biola yang menanti iringan piano, seperti petikan gitar yang menunggu denting lembut dari seruling senja.

Kita ini musik, tapi bagaimana mungkin kita mencapai klimaks jika masih ada bagian yang tertahan dalam irama yang telah usang? Bagaimana kita bisa mengalun dengan megah jika salah satu dari kita masih menggenggam nada-nada yang sudah seharusnya mereda?

Sebab lagu yang baik bukan tentang mengulang kisah yang sama, tapi tentang menyusun harmoni baru, menyatukan perasaan dalam denting yang berbeda. Jika kita terus menoleh ke belakang, lagu ini hanya akan menjadi gema tanpa arah—sebuah simfoni yang kehilangan makna, sebuah melodi yang tak pernah benar-benar selesai.

Komentar

Postingan Populer