Surat Pertama Untukmu
Untuk kamu, yang pernah menjadi rumahku
Dari aku, rumah yang kau tinggalkan
Sudah dua tahun sejak pelukanmu tak lagi jadi pelabuhan terakhirku. Waktu seakan melipat jarak kita dalam diam yang panjang, membuat setiap kenangan tentangmu perlahan berubah jadi sunyi yang menyesakkan dada.
Kamu tahu? Aku masih ingat bagaimana netramu dulu meneduhkan segala badai yang kurasakan. Tatapanmu adalah perhentian yang menenangkan, tempat semua lelahku seakan larut begitu saja. Kini, tak ada lagi mata itu. Tak ada lagi tempat di mana aku bisa pulang.
Senyummu, yang dulu kuanggap pagi di tengah gelapnya dunia, sudah lama tak singgah. Kini, hanya sepi yang mengetuk pintu-pintu hatiku. Ia datang tanpa permisi, menempati ruang-ruang yang dulu kau isi dengan hangat.
Aku menulis ini bukan untuk menyalahkan waktu, tak juga untuk memaksa takdir berputar arah. Aku menulis karena rinduku sudah terlalu lama menggantung di langit hati, dan aku tahu kamu tak akan kembali untuk menurunkannya.
Dulu, kamu adalah rumah. Tempat di mana aku merasa cukup hanya dengan menjadi aku. Tak perlu topeng, tak perlu sandiwara. Di hadapanmu, aku belajar mengenal diriku sendiri lewat caramu mencintai.
Tapi rumah itu kini tinggal reruntuhan. Dindingnya retak, jendelanya terbuka lebar ditiup angin masa lalu, dan pintunya enggan ditutup karena masih menunggu seseorang yang tak kunjung pulang.
Malam-malamku kini ditemani bayanganmu. Bukan sebagai sosok nyata, tapi sebagai gema yang terus memantul di dinding hati. Aku mencoba mengusirnya, tapi ia terlalu lembut untuk dibenci, terlalu indah untuk dilupakan.
Apakah kamu tahu? Dalam diam, aku masih sering berbicara dengan semesta tentangmu. Tentang bagaimana satu orang bisa mengisi begitu banyak ruang dalam hidup seseorang yang kini bahkan tak lagi kamu kenali.
Mereka bilang, waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi waktu juga tahu caranya menyembunyikan luka di balik senyum. Aku tersenyum, tapi rasanya masih ada bagian dari diriku yang belum benar-benar kembali.
Aku mencoba mencintai yang baru, memberi kesempatan pada hati untuk tumbuh. Tapi setiap kali aku hampir sampai di ujung jalan, aku menemukan bayanganmu berdiri di sana. Diam, tapi nyata.
Mungkin ini yang disebut patah yang tidak bisa diulang. Bukan karena kamu terlalu istimewa, tapi karena kebersamaan kita terlalu dalam untuk hanya disebut "pernah ada".
Kini aku tahu, tidak semua yang terasa rumah akan jadi tempat tinggal selamanya. Kadang, rumah hanya mampir, lalu pergi—meninggalkan puing dan kenangan yang tak bisa disapu habis waktu.
Meski begitu, aku tidak menyesal. Setiap detik bersamamu adalah pelajaran paling jujur tentang mencintai, tentang melepaskan, dan tentang bertahan setelah ditinggalkan.
Terima kasih karena pernah menjadi bagian dari kisahku. Terima kasih karena pernah membuatku merasa dicintai, walau akhirnya harus belajar mencintai kehilangan.
Jika suatu hari kamu membaca ini—entah kapan, entah dalam keadaan seperti apa—aku hanya ingin kamu tahu: kamu pernah menjadi rumah yang paling kurindukan, meski kini aku belajar membangun atap lain di atas reruntuhan yang kamu tinggalkan.
Dan untuk semua yang pernah kita punya… biarlah tetap hidup di tempat yang paling tenang: dalam kenangan.
Kini aku tahu, tidak semua kehilangan harus dibenci. Kadang, perpisahan hadir bukan untuk menyakiti, melainkan untuk mengajarkan kita cara mencintai tanpa harus memiliki, cara merelakan tanpa merasa hampa. Dan dalam kehilanganmu, aku menemukan versi diriku yang lebih kuat, meski pernah porak-poranda karena kehilangan.
Maka, untuk kamu yang pernah menjadi rumahku—terima kasih telah menjadi bagian dari perjalanan ini. Semoga semesta mempertemukanmu dengan seseorang yang bisa kamu peluk tanpa takut kehilangan, sebagaimana dulu aku pernah memelukmu dengan seluruh keyakinan.
Komentar
Posting Komentar