Awan Kelabu Milikmu
Anehnya, aku mencintaimu bukan karena cerahnya dirimu, tapi karena gelap yang kau bawa, sayang. Di saat aku menginginkan langit terang yang memeluk dunia, kau justru hadir sebagai awan mendung yang menyejukkan langkah-langkahku yang letih. Ada ketenangan dalam setiap gelapmu, dan aku jatuh cinta pada damainya.
Kau tidak membawa pelangi atau sinar yang membutakan mata. Tapi kehadiranmu seperti senandung sepoi yang membelai kulitku pelan, membuatku menggigil, tapi justru di situ aku merasa paling nyaman. Seolah dunia ikut diam saat kau datang, sayang, dan hanya ada kita berdua di sana.
Aku tahu, banyak orang memilih cahaya, tapi aku memilihmu—yang datang bersama kelabu. Gemuruhmu kecil, tidak menakutkan, hanya cukup untuk mengingatkanku bahwa kau nyata. Dan entah mengapa, sayang, aku lebih tenang mendengarkan ributmu daripada terbuai diam yang semu.
Kau membuatku percaya bahwa hujan pun bisa menjadi pelukan. Saat awanmu menangis, aku biarkan diriku larut dalam rinainya. Setiap tetes seakan membawa pesan bahwa tak apa merasa lelah, tak apa menangis, selama kau ada di sana, sayang, memelukku dari kejauhan.
Tangismu bukan sekadar cuaca buruk. Ia adalah bentuk cinta yang tak banyak bicara, tapi terasa. Saat langitmu menitikkan air mata, aku tahu kau sedang berkata: "Tenanglah, aku bersamamu." Dan aku percaya itu, sepenuh hati, sayang.
Namun, ada kalanya awanmu menjadi terlalu kelam. Hujan deras yang tak kunjung reda membuatku takut kehilanganmu. Tapi tetap saja, aku memilih untuk berdiri di bawahnya—basah, tapi dekat denganmu. Karena bagaimana pun, sayang, dingin bersamamu lebih baik daripada hangat tanpa hadirmu.
Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa aman, bahkan di tengah badai. Senyapmu bukan kesepian, tapi pelukan diam yang tak menghakimi. Dan aku bersyukur untuk itu, sayang, karena hanya bersamamulah aku bisa diam tapi tetap merasa dicintai.
Sayang, kadang aku lupa bahwa kau tak bisa tinggal lama. Ada waktunya langit harus kembali cerah, dan kau perlahan menghilang bersama mendungmu. Dunia bersorak menyambut matahari, tapi aku hanya bisa menunduk—merindukan mendungmu yang teduh.
Aku mencoba tersenyum saat langit biru kembali, tapi hatiku tetap mencarimu. Tidak ada yang mengerti betapa aku merindukan detik-detik saat dunia menjadi kelabu bersamamu. Karena di situlah, sayang, aku merasa hidup sepenuhnya.
Aku tak tahu harus berapa lama menunggumu kembali. Tapi setiap pagi, aku menengadah, mencari tanda-tanda kehadiranmu di langit yang terlalu terang. Dan ketika mendung perlahan datang, hatiku bergetar pelan, “Itu kamu, ya, sayang?”
Kau mungkin bukan yang dinanti banyak orang, tapi bagiku, kau adalah pulang. Tempat segala lelah diistirahatkan, segala tangis disambut. Kau adalah definisi keheningan yang menyembuhkan, sayang, bahkan saat tak satu pun kata terucap.
Dan meskipun aku tahu, sayang, kau tak akan selalu tinggal... aku tetap berharap. Bahwa dalam suatu senja yang pelan, kau akan kembali datang—duduk bersamaku dalam diam yang menenangkan, seperti dulu.
Hingga saat itu tiba, izinkan aku tetap menunggumu. Di antara panas yang menyengat dan cahaya yang memudar, aku akan tetap merindukanmu, sayang—si mendung yang membuatku merasa paling dicintai tanpa harus menjadi terang.
Komentar
Posting Komentar