Tulus

Aku telah mencoba menjadi seseorang yang percaya. Percaya bahwa kasih yang datang dengan ketulusan akan menetap. Bahwa kata-kata lembut yang diucapkan dengan sorot mata hangat bukan sekadar permainan bibir. Bahwa pelukan yang kurindukan bukanlah jebakan dari rasa yang fana.

Namun, semakin aku membuka hati, semakin aku menyadari bahwa tidak semua yang datang membawa ketulusan. Banyak yang hadir hanya untuk menikmati kehangatan sesaat, lalu pergi seolah aku tak pernah berarti. Meninggalkan luka yang diam-diam tumbuh dalam sunyi.

Sayang, aku belajar dari setiap kepergian. Belajar bahwa cinta tak selalu berarti pulang. Belajar bahwa tidak semua yang tampak manis akan tinggal lama. Dan yang lebih menyakitkan, aku belajar bahwa ketulusan tidak selalu dihargai sebagaimana mestinya.

Ada kalanya aku duduk sendiri, mengulang kembali semua memori yang pernah kurasa. Bertanya pada diri sendiri, apakah aku terlalu mudah percaya? Atau terlalu berharap bahwa satu kebaikan kecil akan membawa pada cinta yang besar?

Aku menyimpan luka yang tidak selalu terlihat. Luka yang berasal dari janji-janji yang tak ditepati, dari perhatian yang ternyata palsu, dan dari kata “sayang” yang hanya menjadi alat untuk mendekat, bukan untuk menetap. Kata itu, yang dulu membuat hatiku luluh, kini hanya gema kosong yang sulit kupercaya.

Aku merasa perlahan kehilangan diriku sendiri. Setiap kali seseorang datang dan pergi, aku meninggalkan sebagian dari diriku bersama mereka. Hingga kini, aku bertanya-tanya, apakah masih ada yang tersisa? Apakah aku masih utuh?

Rasa tidak pantas mulai tumbuh dalam pikiranku. Aku mulai mengira bahwa mungkin memang aku tak cukup baik untuk dicintai. Bahwa mungkin semua orang hanya ingin singgah, menikmati sebentar, lalu pergi tanpa permisi. Dan aku tetap di sini, mencoba menyembuhkan diri dengan tangan yang gemetar.

Sayang, apakah salah jika aku berharap dicintai sepenuhnya? Tanpa syarat, tanpa maksud tersembunyi. Aku ingin dilihat bukan dari rupa, bukan dari apa yang bisa kuberi secara fisik, melainkan dari hati yang setia dan ketulusan yang tak pernah habis aku bagi.

Tapi dunia sering kali tak ramah pada hati yang jujur. Dunia menertawakan mereka yang berharap cinta yang sederhana namun tulus. Dan aku, yang tak pandai bermain peran, hanya bisa menjadi diriku sendiri—meski kerap tersisih, meski berkali-kali patah.

Aku telah mencoba menjadi kuat. Telah menahan air mata agar tidak jatuh sembarangan. Tapi malam selalu menjadi tempat yang paling jujur. Di sanalah aku menangis, diam-diam, memeluk diri sendiri, berharap ada yang datang bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk tinggal.

Aku tahu aku tidak sempurna. Aku punya banyak kekurangan, banyak luka, dan banyak hal yang masih harus kupelajari tentang mencintai diri sendiri. Tapi apakah itu membuatku tidak layak dicintai? Apakah luka-luka ini membuatku begitu buruk hingga tidak satu pun hati ingin tinggal?

Sayang, andai ada seseorang yang datang bukan karena rasa penasaran, bukan karena keinginan sesaat, aku ingin dia tahu bahwa aku menyimpan cinta yang luas. Cinta yang tak meminta balasan besar, cukup kejujuran, cukup kehadiran yang tak pura-pura.

Aku tidak ingin disembuhkan. Aku hanya ingin dipahami. Aku ingin seseorang memandangku dan berkata, "Kau tak harus menjadi apa-apa. Cukup menjadi dirimu sendiri, dan aku akan tetap di sini."

Sebab pada akhirnya, yang aku cari bukanlah romansa megah. Bukan pula pelukan yang dibumbui janji manis. Aku hanya ingin tempat untuk pulang—hati yang bisa kusebut rumah, dan seseorang yang menyebutku "sayang" bukan sebagai strategi, tapi sebagai perasaan.

Dan sampai hari itu tiba, aku akan terus mencintai diriku sendiri, pelan-pelan, sekuat yang aku bisa. Karena aku tahu, cinta sejati tak akan datang dari mereka yang hanya ingin bagian dariku. Cinta sejati akan datang dari dia yang ingin seluruhku—termasuk luka dan bahagiaku.


Komentar

Postingan Populer