Suaramu Masih Tinggal

Hingga kini, aku masih belum mampu melupakan suaramu—yang teduh dan menenangkan, kala malam bersandar di pundakku yang lelah. Suara yang dulu membaca puisi-puisi ciptaanku seakan tiap baitnya lahir dari hatimu sendiri. Suara yang kau nyanyikan pelan, meninabobokan resahku hingga diam tak lagi menakutkan.

Malam menjadi sunyi yang ganjil semenjak kau tak lagi menyapa. Tak ada lagi nada yang memeluk. Yang tersisa hanya gema kenangan yang berputar-putar di antara hening, menyuarakanmu lebih nyaring dari apa pun yang nyata.

Setiap kali aku menutup mata, bukan gelap yang menyergapku, melainkan bayang-bayang suaramu—yang masih hafal tiap celah kelemahanku. Kau hadir bukan sebagai sosok, tapi sebagai irama, sebagai jeda, sebagai kehangatan yang tak lagi bisa kuraih.

Aku tak tahu bagaimana caranya berhenti mendengar kau yang tak lagi berbicara. Karena suaramu kini tak berasal dari luar, melainkan dari dalamku—menyelinap di sela napas, di balik kata-kata yang tak sempat terucap saat kau masih tinggal.

Dulu, puisi-puisiku adalah persembahan. Kini, mereka jadi pusara. Tak lagi kubacakan keras-keras, karena suara siapa pun tak akan seindah saat kau yang melafalkannya. Kau bukan sekadar membaca; kau meresapi. Dan itu cukup membuatku percaya bahwa aku pernah berarti.

Aku merindukanmu dalam bentuk yang paling lirih—bukan karena aku belum bisa melupakan, melainkan karena bagian dariku belum rela melepaskan. Ada hal-hal yang tak bisa dipaksa menghilang, terutama yang pernah membuat malam terasa seperti rumah.

Kau ajarkan aku mencintai dalam diam, memeluk lewat kata, dan menyentuh lewat nada. Dan justru kini, diam itu berubah menjadi sunyi yang dingin. Kata menjadi luka. Nada menjadi perih.

Aku bertanya-tanya, apakah kau pernah mengingat malam-malam itu? Saat kau menyebut namaku bukan dengan panggilan, melainkan dengan kelembutan. Saat kau hadir bukan sebagai orang, melainkan sebagai ketenangan yang kuyakini tak akan pergi.

Tapi ternyata kau pergi. Dan sejak itu, malam kehilangan maknanya. Aku kehilangan arah suara yang biasa membimbingku menuju tenang.

Sejak kepergianmu, aku tak lagi percaya bahwa semua keindahan bisa abadi. Karena bahkan suara yang menenangkan pun bisa berubah menjadi kenangan yang menyakitkan.

Kini, tiap kali aku menulis, aku tidak lagi menunggu siapa pun membacakan. Aku menulis untuk mengingat, agar aku tidak sepenuhnya kehilanganmu. Karena mengingatmu, meski menyakitkan, tetap terasa lebih baik daripada melupakan sama sekali.

Dan jika suatu saat malam bertanya, kenapa aku belum juga tenang, aku akan menjawab, “Karena suaranya masih tinggal.” Kau tinggal, meski hanya dalam gema.

Kau adalah lagu yang tak selesai dinyanyikan, puisi yang tak sempat selesai dibaca. Dan aku adalah hati yang masih menunggu bait terakhirnya, meski sadar, kau tak akan kembali untuk menyuarakannya.


Komentar

Postingan Populer