Rumah yang Bukan Lagi Aku
Senja sore ini hanya aku yang tertinggal, duduk diam ditemani cahaya jingga yang perlahan memudar. Kamu telah pergi, sayang. Pergi mencari rumah baru yang menurutmu lebih layak untuk ditinggali. Aku tidak menyalahkanmu. Mungkin memang benar, kebersamaan kita tak lagi membuatmu merasa tenang.
Namun, kepergianmu menyisakan sesuatu yang berat di dadaku. Rasanya seperti ada beban tak kasat mata yang menekan langkahku mundur. Aku mencoba tetap tegak, tapi jujur, sayang, aku nyaris kehilangan arah sejak kamu memilih menjauh.
Aku masih mencari kehadiranmu di antara sisa-sisa kenangan yang tertinggal. Di udara sore yang pernah kita hirup bersama, di bangku tempat kita saling bersandar, di segala hal yang pernah jadi milik kita berdua. Sayang, semua itu kini hanya menyisakan hening yang menggema dalam kepala.
Setiap malam, aku masih menyiapkan ruang di dalam doa untuk menyebut namamu. Aku tahu, mungkin doaku tak lagi sampai padamu, tapi aku tetap menyebutnya, sayang. Karena bagiku, mencintaimu bukan perkara memiliki. Ini tentang merelakanmu bahagia, meski tanpa aku.
Ada banyak hal yang ingin kutanyakan, tapi semua terlambat. Mungkin aku terlalu diam saat kamu mulai lelah. Mungkin aku terlalu sibuk mencintai dengan caraku sendiri, tanpa benar-benar melihat bagaimana hatimu perlahan-lahan menjauh. Maafkan aku, sayang.
Kamu pernah menjadi rumah. Tempat aku merasa utuh dan diterima. Tapi kini, kamu hanyalah alamat yang tak lagi bisa kucapai. Aku mengetuk, namun tak ada yang membukakan pintu. Aku menunggu, namun yang datang hanya sepi.
Aku tahu, kamu sedang mencari tenang. Dan jika dengan tidak bersamaku kamu merasa lebih damai, maka aku akan belajar menerima. Meski setiap penerimaan itu adalah luka yang kupendam dalam diam, sayang.
Kini aku menyayangimu dalam jarak. Dalam ketidakhadiranmu yang semakin nyata. Dalam kenyataan pahit bahwa kita sudah tak lagi berjalan di jalur yang sama. Tapi percayalah, rasa ini belum hilang. Ia hanya belajar diam, bukan menghilang.
Sayang, aku menyimpanmu bukan untuk mengharapkan kembalimu, tapi sebagai bagian dari hidup yang pernah begitu hangat. Kamu adalah bab penting yang tak bisa kuhapus, meski kisah kita sudah berakhir.
Jika suatu hari kamu merasa lelah dan ingin kembali ke tempat yang pernah kamu tinggalkan, aku tidak janji masih di titik yang sama. Tapi aku janji, kenangan tentangmu akan tetap kutaruh baik-baik, di tempat yang tidak bisa disentuh siapa pun.
Aku menyayangimu, sayang. Dengan seluruh luka yang kau tinggalkan, dengan seluruh harapan yang tak sempat kutuntaskan. Aku menyayangimu dengan cara yang paling sunyi—dalam diam, dalam doa, dalam air mata yang tak pernah kamu lihat.
Dan jika kamu bahagia di sana, maka izinkan aku belajar bahagia di sini. Meski jalannya tidak mudah, dan hatiku masih penuh oleh kamu. Sebab mencintaimu, sayang, bukan soal memiliki… tapi soal merelakan kamu menemukan rumah yang membuatmu merasa pulang.
Komentar
Posting Komentar