Maafku yang Terlalu Nyaring Menyebutmu

Maafkan aku yang terlalu lancang membanggakanmu di hadapan teman-temanku. Seolah-olah kau telah menjadi kepastian, padahal kau bahkan belum benar-benar menetap. Aku menyebut namamu dalam tawa, menyelipkan kisah-kisah kecil tentangmu dalam percakapan, seakan dunia sudah merestui kita untuk berjalan beriringan. Padahal, kenyataannya—aku bahkan tidak yakin kau pernah melihatku sebagai rumah yang pantas kau tuju.

Aku terlalu sering mengulang ceritamu, mengganti luka dengan harapan, menenun khayal menjadi sehelai kain yang kuharap bisa kau pakai suatu hari. Teman-temanku tersenyum kala aku bercerita, seolah turut merayakan cinta yang tak mereka tahu belum tentu bersambut. Mereka tidak tahu, setiap kalimat yang kulontarkan sebenarnya adalah doa—yang kerap kembali padaku dalam sunyi.

Ada malam-malam ketika aku menyesali keberanianku. Menyesal telah membangun harapan terlalu tinggi dari fondasi yang bahkan belum pernah kau sentuh. Aku takut, suatu hari mereka akan bertanya, "Bagaimana kabarnya dia?" dan aku hanya bisa tersenyum getir, menunduk, lalu menjawab, "Sudah bukan milikku untuk tahu."

Maafkan aku, karena menjadikanmu tokoh utama dalam kisah yang hanya kutulis seorang diri. Padahal kau tak pernah duduk bersama saat naskahnya kubuat. Mungkin aku terlalu lihai berimajinasi, atau terlalu haus akan kebersamaan hingga menciptakan versi dirimu yang tak pernah benar-benar hidup di dunia nyata.

Ada perih yang tak mampu dijelaskan saat orang-orang memujimu karena cerita yang kubawa. Mereka bilang aku beruntung, padahal aku sendiri tak yakin apakah aku bahkan pernah kau anggap ada. Aku ingin menjelaskan, tapi lidahku kelu. Karena bagaimana mungkin aku bisa menyatakan cinta yang belum pernah kau beri ruang untuk tumbuh?

Ketika kulihat matamu tak lagi menatap ke arahku, aku sadar. Aku hanya pembicara tunggal dalam percakapan yang selama ini kusebut kebersamaan. Kau hadir, tapi tidak untukku. Dan aku tetap berdiri di tempat yang sama, menanti sesuatu yang mungkin tidak pernah ditujukan kepadaku sejak awal.

Aku menyalahkan diriku, bukan dirimu. Karena bukan salahmu bila aku memilih jatuh terlalu dalam sebelum tahu apakah ada tangan yang akan menangkap. Aku terlalu percaya pada getar hati yang ternyata hanya bertepuk sebelah. Aku terlalu percaya bahwa segala hal yang lembut darimu berarti undangan, padahal mungkin hanya kebiasaan.

Kini, ketika kutemui dirimu dalam keramaian, aku menunduk. Tak lagi lantang menyebut namamu di hadapan siapa pun. Bukan karena benci, bukan karena ingin melupakan, tapi karena aku mulai belajar untuk menyimpannya sendiri—tanpa perlu dunia ikut mendengarkan.

Aku menata ulang ruang di dalam diriku, menyingkirkan altar kecil yang dulu kusembahkan untukmu. Bukan untuk menghapus, tapi agar aku bisa bernafas tanpa sesak dari kenangan yang terus-menerus mengetuk. Aku belajar, bahwa mencintai juga berarti merelakan seseorang tetap menjadi dirinya, bahkan jika itu berarti ia berjalan menjauh.

Tapi tahukah kau? Dalam diamku kini, ada rindu yang masih mengintip dari balik tirai kesadaran. Ia tidak sekeras dulu, tapi masih setia. Kadang menyapa di tengah malam, kadang mengendap saat lagu favoritmu tiba-tiba terputar di tempat acak. Dan aku hanya bisa tersenyum, lalu membiarkannya lewat seperti angin.

Mungkin semesta sedang mengajarkanku bahwa tak semua kebanggaan pantas diumumkan. Bahwa ada cinta yang memang hanya untuk dirasakan, bukan dipamerkan. Ada nama-nama yang lebih indah jika hanya digenggam dalam hati, tak disebar ke udara.

Aku menuliskan ini bukan untuk memintamu kembali. Bukan pula untuk memintamu menjelaskan. Aku hanya ingin berdamai dengan kebisuanku sendiri, setelah terlalu lantang menyebutmu dalam cerita yang bahkan tidak kau baca.

Jika suatu hari nanti kau tahu—bahwa ada seseorang yang pernah memajang namamu dalam doa-doanya, menyebutmu sebagai sesuatu yang istimewa di hadapan dunia—aku harap kau tidak marah. Karena cinta yang jujur kadang tidak tahu cara membatasi dirinya.

Maaf jika aku pernah menjadikanmu alasan dari senyumku yang paling lebar. Maaf jika aku pernah membayangkan masa depan denganmu padahal kau bahkan belum memberikan masa kini yang pasti. Maaf, karena dalam hatiku, kau terlalu indah untuk tidak kubanggakan.

Dan kini, aku menyimpan semua itu dalam sunyi. Karena aku belajar, bahwa mencintai tidak harus selalu terdengar. Terkadang, mencintai paling tulus adalah ketika kita tahu kapan harus diam dan mengikhlaskan.

Komentar

Postingan Populer