Jika Aku Hanya Kabut
Barangkali, kehadiranku hanyalah ilusi semata. Atau sekadar kabut yang sesaat menutupi arah langkahmu. Entahlah, aku sendiri tidak benar-benar memahami posisi diriku di matamu. Pernah kucoba membaca sorot matamu, menafsirkan apakah aku memiliki arti, apakah keberadaanku lebih dari sekadar bayang-bayang yang melintas di tepian kisahmu. Namun, semakin kucari, semakin kabur pula jawaban yang kutemukan. Seolah hatimu menyimpan pintu rahasia yang tak pernah kucapai kuncinya.
Aku menyusuri hari-hari bersisian denganmu dalam diam yang panjang dan penuh jeda. Tak pernah benar-benar kuutarakan tanya, karena aku gentar akan jawabannya. Takut bahwa seluruh rasa yang kupeluk hanya milikku seorang. Takut bahwa namaku tidak pernah kau lafalkan dalam doa, atau sekadar mampir dalam lamunmu yang sunyi. Mungkin, aku memang hadir, namun sebatas figuran dalam naskah hidupmu. Tak pernah menjadi pemeran utama—barangkali bahkan tak layak disebut sebagai tokoh pelengkap.
Ada kalanya aku membayangkan diriku seperti bayang pohon menjelang senja—tampak indah namun segera sirna saat malam benar-benar datang. Aku berharap, dengan segala kebodohan yang kumiliki, bahwa keberadaanku mampu menorehkan jejak. Tetapi perlahan aku mengerti, tidak semua yang hadir akan diingat, dan tidak setiap yang menetap dapat membuat seseorang bertahan.
Lama-lama aku jenuh menggali tanya dalam hati, “Apakah aku cukup?” Layakkah aku dilihat lebih dari sekadar teman sepercakapan? Lebih dari sekadar peran dalam dialog basa-basi? Aku pernah berjuang—dengan caraku, dalam keterbatasanku. Namun apakah arti dari perjuangan, jika yang kau lindungi bukanlah aku?
Ada waktu-waktu ketika aku merasa tegar, seolah mampu berdiri tanpa menggenggam harapan apa pun. Namun kala malam menepi dan dunia menjadi senyap, segala yang kutahan pun runtuh. Aku menjadi rapuh. Ingatan tentangmu melintas satu per satu, seperti potongan film lama yang tak kunjung selesai ditayangkan. Dan aku hanya mampu menontonnya dalam sepi.
Aku tak pernah memintamu bertahan. Namun dalam diam, aku selalu berharap kau akan memilih untuk tidak pergi. Aku tidak menuntut balasan, namun ingin tahu—apakah aku pernah menyentuh ruang kecil di hatimu? Ataukah sejak awal, aku hanya pengisi sela cerita, yang bisa dengan mudah kau hapus tanpa sisa?
Mungkin, andai aku lenyap, tidak ada yang berubah. Langit tetap membiru, burung-burung tetap berkicau, dan kau... kau akan tetap melangkah seperti biasa. Sebab aku bukan pusat semestamu, mungkin pun tak pernah masuk dalam orbit penting kehidupanmu.
Yang ironis, aku mencintaimu dalam sunyi. Tanpa pengakuan megah, tanpa laku gemuruh. Aku diam, memperhatikan dari kejauhan, menyayangimu dalam bisu yang seringkali menyakitkan. Mungkin karena aku sadar, mencintai dengan sekuat tenaga pun tidak serta-merta membuatku terpilih.
Ada bagian dari diriku yang ingin melepaskan segalanya. Namun masih ada sudut kecil yang percaya pada keajaiban—bahwa suatu hari, kau akan menoleh dan berkata, “kau selalu di sini, ya?” Tapi mungkin itu hanya dongeng yang kuciptakan sendiri agar aku bisa tidur malam ini tanpa terlalu perih.
Sebab cinta yang tak pernah diakui akan perlahan-lahan menjadi luka. Dan luka yang tak dirawat akan menjelma bagian dari siapa diriku kini. Aku belajar menerima hal itu, meskipun sering kali rasanya berat.
Tahukah kau? Aku iri pada hal-hal kecil yang mendapat tempat dalam hidupmu. Lagu yang terus kau ulang, buku yang kau baca berkali-kali, atau gelas kopi yang tak pernah kau pindahkan dari meja. Sebab mereka nyata bagimu. Sedangkan aku? Aku ragu, apakah aku pernah menjadi sesuatu yang benar-benar ada dalam duniamu.
Aku tidak menyalahkanmu. Mungkin aku yang keliru, terlalu percaya pada sesuatu yang tidak pasti. Aku tinggal terlalu lama dalam ruang yang tak pernah benar-benar menyediakan tempat untukku tumbuh. Namun bagaimanapun, aku bersyukur pernah hadir—pernah mencoba.
Dari semua ini, aku belajar mencintai tanpa menggenggam, memberi tanpa meminta imbalan. Mungkin bukan kebahagiaan yang kudapatkan, namun pelajaran yang tidak semua orang mampu miliki: bahwa tidak semua cinta harus dimiliki. Ada yang cukup untuk disyukuri karena pernah dirasakan.
Kini aku tidak lagi menunggumu. Namun aku juga belum sepenuhnya pergi. Sebagian dari diriku tertinggal di sela-sela kenangan. Dan aku membiarkannya tetap di sana, sebagai penanda bahwa aku pernah ada, meskipun tak terlihat olehmu.
Suatu hari kelak, jika takdir mempertemukan kita lagi dan engkau menatapku dengan mata yang asing, aku akan tersenyum. Sebab meski aku bukan siapa-siapa dalam hidupmu, aku pernah mencintaimu dengan sepenuh hatiku.
Biarlah aku menjadi kisah yang tak sempat kau selesaikan. Halaman yang tak lagi kau buka, namun tetap diam di rak hatimu, berdebu namun tak punah.
Dan jika benar aku hanyalah kabut yang singgah, aku berharap setidaknya pernah membuat langkahmu teduh walau hanya sebentar. Sebab bagiku, menjadi kabut pun tak apa—asal aku sempat menyelimuti harimu, walau tanpa pernah kausadari.
Komentar
Posting Komentar