Ceritaku Pada Bunda
Bunda, rasanya dadaku sesak oleh hal-hal yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Ada luka yang tak berdarah, tapi perihnya menetap. Aku menelan tangis seperti meneguk racun perlahan—tidak mati, tapi juga tak benar-benar hidup.
Aku mencoba tersenyum di hadapan mereka, tapi senyumku retak, pecah di sudut bibir, dan runtuh di balik mata. Mereka berkata aku kuat, padahal mereka tak tahu aku mengais serpihan diriku setiap malam, memungutnya satu per satu dengan tangan gemetar.
Dunia seolah sedang mengujiku, Bunda. Menguliti sabarku sedikit demi sedikit, dan aku tidak tahu kapan akan benar-benar habis. Kadang aku ingin menyerah, tapi aku tahu, engkau tidak membesarkanku untuk kalah pada luka.
Orang-orang membunuhku secara perlahan, tidak dengan senjata, tapi dengan diam mereka yang menusuk, dengan tawa mereka yang mengabaikan, dengan kehadiran mereka yang membuatku merasa tidak pernah cukup. Mereka bahagia di atas tangisku, dan itu menghancurkan.
Aku menjerit dalam hati, tapi dunia tak mendengar. Aku berharap engkau mendengarnya dalam doamu, dalam sunyi yang hanya bisa didengar oleh hati seorang ibu.
Bunda, ajari aku menjadi kuat sepertimu. Ajari aku bagaimana engkau tetap tegar ketika dunia mencemooh, bagaimana engkau tersenyum meski hatimu remuk. Ajari aku bertahan, bukan hanya hidup.
Aku tidak ingin menjadi batu, Bunda. Aku hanya ingin menjadi air—lembut, tapi mampu menghancurkan karang. Tapi saat ini, aku hanya genangan luka yang dipijak-pijak oleh mereka yang tidak pernah peduli.
Katakan padaku, bagaimana caranya memaafkan tanpa harus melupakan? Bagaimana bisa aku mencintai dunia yang begitu sering menolakku?
Bunda, aku rindu pulang—bukan ke rumah, tapi ke dalam diriku yang dulu. Aku yang masih utuh, masih percaya bahwa kebaikan akan menang. Tapi hari-hari ini, aku mulai meragukan segalanya, bahkan diriku sendiri.
Setiap pagi adalah medan perang. Aku bangkit bukan karena semangat, tapi karena keterpaksaan. Karena dunia tidak menunggu yang lelah.
Aku mencoba menjadi cahaya, tapi kadang aku justru terbakar oleh apiku sendiri. Tidak ada yang memberitahuku bahwa menjadi terang begitu menyakitkan.
Mereka bilang aku kuat karena aku tidak menangis. Tapi mereka tidak tahu, aku hanya tidak tahu lagi cara menangis. Tangis sudah terlalu akrab, hingga air mata pun lelah bersamaku.
Bunda, ajari aku berani. Bukan hanya berani menghadapi orang lain, tapi juga diriku sendiri. Rasa takutku terlalu besar, dan aku mulai kehilangan pijakan.
Aku mencoba mencintai diriku, tapi bayangan mereka terus menari di cermin. Kata-kata mereka seperti ukiran di kulitku. Tak terlihat, tapi terasa setiap kali aku bernapas.
Terkadang aku iri pada burung-burung. Mereka bebas melayang di langit, sementara aku terus dirantai oleh ekspektasi, oleh luka, oleh rasa yang tak bisa kujelaskan pada siapa pun.
Bunda, kau selalu bilang bahwa badai pasti berlalu. Tapi bagaimana jika aku adalah badai itu sendiri? Bagaimana jika aku adalah luka yang tak bisa sembuh?
Aku ingin belajar mencintai lagi—bukan hanya orang lain, tapi hidup itu sendiri. Tapi saat ini, semuanya terasa tawar. Bahkan harapan pun terasa asing.
Beritahu aku bahwa ini hanya musim yang kelabu. Bahwa akan ada pagi yang tidak pahit, malam yang tidak dingin, dan hari-hari yang tak lagi penuh air mata.
Aku ingin bertahan, Bunda. Tapi kadang aku merasa tidak sedang hidup, hanya sekadar ada. Menjadi bayangan dari seseorang yang dulu pernah bermimpi.
Aku ingin menjadi puisi, Bunda. Tapi bahkan puisiku kini hanya berisi jeritan sunyi. Aku rindu menjadi nyanyian, bukan keluhan.
Bunda, peluk aku dalam doa-doamu. Jika dunia tak bisa memelukku, biarkan doamu menjadi rumah. Sebab di sanalah aku merasa paling utuh—paling aku.
Dan jika suatu saat aku lelah, dan tak bisa berkata-kata, yakinlah bahwa aku sedang mengingatmu. Dalam diam, dalam perih, dalam semua yang tak terucap.
Komentar
Posting Komentar