Benak yang Tak Terjangkau

Aku tidak tahu apa yang ada dalam benakmu, sayang. Membaca pikiranmu sama saja seperti menyelam di teluk terdalam bumi. Rasanya sulit sekali dijangkau, dan rasanya mustahil. Aku tidak tahu tentang dirimu, dan kau pun tidak tahu tentangku.

Kita adalah dua samudra yang saling menatap dari kejauhan, tapi enggan menyatu. Aku berdiri di tepi pantai, mendengar bisik ombakmu yang samar, tak pernah tahu apakah itu panggilan atau hanya gema dari masa lalu yang tak kunjung reda.

Kau bagai rasi bintang di malam yang pekat—terang, indah, tapi jauh. Dan aku hanyalah pengamat yang mengangkat kepala, berharap suatu saat langit dan bumi bisa saling merengkuh dalam pelukan yang nyata.

Dalam diam kita tumbuh, tapi tidak bersama. Aku merawat rindu di tanah yang kering, sedangkan kamu berjalan di antara hujan, tak tahu ada taman yang menunggumu mekar di dadaku.

Kata-kata tak pernah cukup, dan tatap mata tak pernah bisa menjelaskan seluruh isi hati. Kita bicara dengan diam, saling menyentuh lewat bayang. Namun bayang tidak pernah bisa dipeluk, bukan?

Aku ingin tahu, apakah kau pernah memikirkan hal yang sama? Apakah kau pernah menatap langit dan bertanya-tanya tentangku, sebagaimana aku terus bertanya-tanya tentangmu?

Setiap langkahmu adalah teka-teki, dan setiap senyummu adalah sandi yang tak kunjung kupahami. Tapi entah mengapa, aku tetap saja bertahan, seolah hatiku buta namun tetap memilih menunggumu.

Waktu berjalan, seperti daun-daun yang gugur tanpa suara. Dan aku berdiri di bawah pohon rindang bernama harap, meski musim berganti tanpa jeda.

Aku mencoba menafsirkan tatapanmu, namun selalu gagal. Mungkin karena aku terlalu sibuk mencari makna, hingga lupa menikmati keberadaanmu.

Di malam-malam yang tenang, aku sering berbicara pada bintang. Kukisahkan tentang kamu, tentang kita, yang entah nyata atau hanya ilusi yang dibangun oleh sunyi.

Ada kalanya aku ingin pergi, melupakanmu, membuang namamu dari setiap puisi yang kutulis. Tapi semakin aku mencoba, semakin namamu tumbuh liar di hatiku—seperti akar pepohonan yang tak bisa dicabut begitu saja.

Aku tahu, mencintaimu adalah pertaruhan tanpa jaminan. Tapi siapa peduli? Bukankah cinta memang seringkali tak masuk akal, namun tetap dicari oleh jiwa yang haus akan makna?

Jika kelak kau membaca ini, biarlah kau tahu bahwa pernah ada hati yang begitu tulus menanti. Hati yang tidak menuntut untuk dimiliki, tapi hanya ingin dimengerti.

Kita mungkin tak akan pernah menjadi "kita" seperti dalam kisah-kisah cinta. Tapi setidaknya, aku pernah menulis namamu dalam setiap halaman hidupku dengan tinta yang tidak akan pudar.

Barangkali, aku adalah kapal yang berlayar ke arahmu tanpa tahu pelabuhan mana yang harus kusinggahi. Dan kamu, adalah daratan asing yang tak kunjung membukakan peta.

Tak mengapa, sayang. Tak mengapa. Aku sudah terbiasa mencintaimu dalam diam, seperti hujan yang jatuh di malam hari—tidak terlihat, tapi terasa.

Biarkan aku menjadi senja dalam hidupmu—tak berlangsung lama, namun selalu dikenang karena warnanya. Biarkan aku menjadi sunyi yang pernah menemani langkahmu, walau hanya sekejap.

Dan jika semesta tak merestui kita bertemu di dunia yang sekarang, mungkin kelak di kehidupan berikutnya, aku akan mengenalmu lebih dulu. Kali ini, bukan dari tatapan asing… tapi dari debar yang saling menjawab.

Komentar

Postingan Populer