Antara Kamu, Aku, dan Iman

Aku mengenalmu bukan dari rencana, sayang, tapi dari kebetulan yang terasa seperti takdir kecil. Perjumpaan kita tidak dramatis, tidak pula dirancang oleh semesta. Tapi entah kenapa, sejak itu, langkahmu menempati ruang yang tak pernah kuundang—di pikiranku, dan di hatiku.

Kamu hadir seperti hujan pertama setelah musim panjang yang kering. Membasahi tanpa memaksa. Menyegarkan tanpa mengusik. Setiap perhatianmu, setiap kalimatmu yang sederhana, menjelma pelukan tak kasat mata yang kurindukan diam-diam.

Aku menyukai caramu bertanya kabar, menyelipkan pujian tanpa beban, dan menenangkan segala gelisahku seakan kamu tahu cara memeluk luka yang bahkan tak kuucapkan. Sayang, kamu membuat segalanya terasa ringan, padahal dalam diamku—ada gundah yang tak henti tumbuh.

Kita berjalan di atas tanah yang tak sama. Iman kita tidak bersisian. Keyakinan kita berdiri saling berhadapan, dan tak ada jembatan yang mampu menyatukan dua pijakan yang begitu berbeda. Perbedaan ini bukan luka, tapi juga bukan jalan yang mulus untuk dilewati.

Aku mencintaimu bukan karena mudah, tapi justru karena sulit. Karena di setiap senyummu, aku juga melihat dinding tinggi yang memisahkan. Dan sekuat apapun rasaku, tak bisa menjatuhkan tembok yang telah lama dibangun oleh keyakinan kita masing-masing.

Sayang, kamu bukan masalah. Kamu adalah kehangatan yang tak bersalah. Tapi mencintaimu terasa seperti menggenggam salju di telapak tangan—indah, tapi perlahan mencair, menyakitkan, lalu hilang tak tersisa.

Kadang aku berharap kita bertemu dalam dunia yang lebih adil. Dunia di mana cinta tak harus menunduk pada perbedaan iman. Di mana aku tak perlu memilih antara kamu dan surga yang kupelajari sejak kecil. Tapi kenyataan terlalu tegak untuk kubengkokkan.

Aku tahu kamu pun tak ingin membuatku goyah. Kamu menghormati doaku, caraku memandang Tuhan, dan itulah yang membuatku makin ingin tinggal. Tapi aku juga tahu, kita tak bisa berdiri terlalu lama di persimpangan ini. Waktu akan memaksa kita memilih jalan.

Apakah kamu sadar, sayang? Bahwa setiap detik yang kuhabiskan bersamamu, hatiku berdebat dengan pikiranku. Ingin terus dekat, tapi takut makin dalam. Ingin menjaga, tapi sadar harus belajar melepaskan.

Banyak malam yang kulewati dengan bertanya-tanya, apakah cinta ini bisa bertahan tanpa harus ada yang berpindah keyakinan? Tapi jawabannya selalu membuatku hening. Karena cinta tak cukup untuk melawan prinsip yang sudah ditanamkan dalam dada sejak lama.

Sayang, jika nanti aku perlahan menjauh, bukan karena aku berhenti mencintai. Tapi karena aku memilih mencintai dengan cara yang berbeda. Aku mencintaimu dengan mengikhlaskan, bukan memiliki. Dengan mendoakan dari jauh, bukan memaksakan kebersamaan.

Kamu akan selalu menjadi nama yang kusebut dalam diam. Orang yang pernah membuatku merasa cukup, tanpa harus berpura-pura kuat. Dan meski nanti kita tak bersama, percayalah, tak akan ada sesalku karena pernah mengenalmu.

Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa cinta yang tak bisa bersatu, bukan berarti tak pernah ada. Kita ada, sayang. Kita nyata. Tapi semesta punya caranya sendiri untuk menata kisah.

Mungkin suatu hari, saat kita sudah berdamai dengan perpisahan, kita akan menatap langit yang sama dan tersenyum. Karena kita tahu, pernah saling mencintai, dengan utuh, meski tak sampai menjadi satu.

Dan kalau pun nanti kamu bertemu seseorang yang bisa kau genggam tanpa ragu, kuharap dia mencintaimu dengan cara yang lebih sederhana daripada aku—tanpa ada luka karena beda keyakinan.

Aku akan baik-baik saja, sayang. Karena mencintaimu telah membuatku mengerti bahwa tidak semua yang indah harus digenggam. Kadang, cukup disyukuri telah singgah.

Untukmu yang pernah menjadi candu dalam tenangku, terima kasih telah hadir. Meski pada akhirnya kita memilih jalan yang tak bersisian, kamu akan selalu tinggal di bagian hatiku yang paling lembut.

Selamat berjalan, sayangku. Dalam damai, dalam doaku yang tak pernah putus. Jika kelak kita bertemu kembali—di tempat yang tak lagi memisahkan—mungkin semesta sedang memberi kita kesempatan kedua yang lebih indah.

Komentar

Postingan Populer