Langsung ke konten utama

Unggulan

Tak Tersentuh

Ada ruang di dalam hatiku yang selalu waspada—tempat di mana harapan takut tumbuh terlalu tinggi. Aku pernah belajar, sayang, bahwa semakin besar harapanku, semakin dalam pula sakit yang kurasakan saat semuanya runtuh. Aku masih ingat rasanya dihancurkan oleh ekspektasi yang kugenggam erat. Dulu, aku begitu yakin pada janji yang ternyata hanya angin lalu. Sejak saat itu, aku belajar untuk tidak lagi berharap terlalu banyak—menahan diri agar tak terjatuh terlalu dalam. Tapi lalu kau datang, dengan senyum yang terasa begitu tulus dan tatapan yang seolah menjanjikan kebahagiaan. Jujur saja, aku ingin sekali percaya, ingin mengizinkan hatiku melangkah lebih jauh. Tapi ketakutan itu tetap ada, menyusup seperti bayangan gelap yang tidak mau pergi. Aku takut, sayang. Takut kalau semua ini hanya mimpi yang akan terbangun dengan luka baru. Takut jika aku kembali mempertaruhkan segalanya hanya untuk melihatmu pergi pada akhirnya. Kau mungkin tidak tahu seberapa besar perjuanganku untuk tetap...

Bukan Rumah




Aku terlalu cepat menyimpulkan, sayang. Terlalu gegabah menaruh namamu dalam setiap doaku, seolah-olah kau adalah jawaban yang selama ini kucari. Aku pikir kau adalah rumah, tempat di mana aku bisa berhenti berkelana. Aku pikir genggamanmu adalah jaminan, bahwa aku tak perlu lagi takut kehilangan.

Tapi aku salah, ya?

Harusnya aku tak buru-buru membaca isyarat semesta seolah itu pertanda. Harusnya aku tak gegabah menafsirkan tatapanmu sebagai harapan. Mungkin, sejak awal semesta hanya sedang bercanda, mempertemukan kita bukan untuk bersatu, tapi sekadar memberi pelajaran tentang arti melepas.

Aku mencintaimu dengan keyakinan yang penuh, sementara kau mencintaiku dengan ragu. Aku berlari menuju masa depan bersamamu, sementara kau masih bertanya-tanya apakah ingin tetap tinggal atau pergi. Aku membayangkan hari-hari panjang di sisimu, sementara bagimu, aku hanyalah persinggahan yang akan kau tinggalkan ketika waktunya tiba.

Harusnya aku tidak buru-buru menyimpulkan kalau kamu orangnya, sayang. Harusnya aku sadar, bahwa ada cinta yang hanya hadir sebagai bayang-bayang, tampak nyata namun tak bisa kugenggam. Ada perasaan yang begitu indah namun tak pernah dimaksudkan untuk menetap.

Dan kini aku berdiri di sini, menggenggam kenangan yang mulai pudar. Aku menyebut namamu dalam hati, tapi hanya keheningan yang menjawab. Aku masih ingin percaya bahwa semesta pernah menghadiahkanku sesuatu yang indah, meskipun pada akhirnya, aku hanya sekadar menyesap manisnya sebelum pahitnya perlahan menyelimuti.

Harusnya aku tahu sejak awal, sayang... bahwa kau bukan akhir dari perjalananku—hanya persimpangan yang sesaat membuatku berharap.

Komentar

Postingan Populer